Benarlah. Pada hari ‘H’, Kiai-Kiai desa Benda berkumpul di tempat yang ditentukan. Namun, tamu yang dinanti, Simbah Dalhar tak kunjung datang.
Selang beberapa minggu, satu dua utusan dari Benda kembali sowan ke Simbah Dalhar. Sekaligus, menanyakan ihwal ketakdatangan beliau ke Benda.
Saat ditanya, apakah beliau sakit ketika itu. Simbah menjawab tidak. Apakah ada ‘udzur syar’I yang menjadi alasan beliau tak datang. Tidak juga.
Simbah Dalhar justru menjawab lain. “ Aku ora wani” (saya tidak berani-red)
Menurut Simbah Dalhar, Kiai-Kiai Benda thoriqohnya sudah presiden.
“ Masa aku yang layaknya bupati mau melantik presiden, aku ndak berani tho”
Jawaban Simbah Dalhar mengandung isyarat. Kiai-Kiai Benda tak perlu berbaiat thoriqoh kepadanya. Sebab sudah menjalani thoriqoh ‘presiden’. Thoriqoh presiden itu tak lain adalah thoriqoh Al Qur’an.
Di masa itu, memang, Kiai-Kiai dan masyarakat Benda, dikenal sebagai pecinta, penghafal dan pegiat Al Qur’an. Hingga disebutkan, ‘wiridan’ masyarakat benda adalah Al Qur’an.
--disadur dengan perubahan seperlunya dari Wawancara dengan KH. Izzuddin Masruri di Majalah El Waha edisi 12.
Comments
Post a Comment