Ndalem Pengasuh ( foto : burhnfadlie.blogspot.co.id) |
Oleh : Abah KH. Mukhlas Hasyim, MA
Dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Walisongo adalah perintis awal dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dipelopori Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Walisongo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid-murid untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh Nusantara sejak abad ke-15. Walisongo terdiri dari sembilan wali; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga.
Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau Waliya yang berarti qaraba yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian. Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai dengan pengertian kerabat, teman atau pelindung. Al-Qur’an menjelaskan: “Allah pelindung (waliyu) orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung (auliya) mereka ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Baqarah: 257).
Selanjutnya kata songo menunjukkan angka hitungan Jawa yang berarti sembilan, angka bilangan magis Jawa yang diambil dari kata Ja yang memiliki nilai tiga dan wa yang bernilai enam. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kata songo berasal dari kata sana yang diambil dari bahasa Arab, tsana (mulia) sepadan dengan mahmud (terpuji). Pendapat ini didukung oleh sebuah kitab yang meriwayatkan kehidupan dan hal ihwal para wali di jawa yang dikarang oleh Sunan Giri II.
Meskipun tidak membawa bendera tertentu kecuali Islam dan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah, metode dakwah yang digunakan Walisongo adalah penerapan metode yang dikembangkan para sufi Sunni dalam menanamkan ajaran Islam melalui keteladanan yang baik. Aliran teologinya menggunakan teologi Asy’ariyah, sedangkan aliran sufistiknya mengarah pada Al-Ghazali. Jejak yang ditinggalkan Walisongo itu terlihat dalam kumpulan nasihat agama yang termuat dalam tulisan-tulisan para murid dalam bahasa Jawa yang dikenal dengan primbon, yang menggambarkan hakikat aliran tasawuf yang mereka anut dan kembangkan. Hal ini juga didasarkan pada manuskrip yang ditemukan Drewes yang diperkirakan ditulis pada masa transisi dari Hinduisme kepada Islam, yakni pada masa Walisongo hidup. Dalam manuskrip yang menguraikan tasawuf itu terdapat beberapa paragraf cuplikan dari kitab al-Bidayah wa al-Nahayah karya al-Ghazali.
Kendati demikian, metode dakwah yang dilakukan para wali berbeda-beda. Metode yang dilakukan Sunan Kudus tampak unik dengan mengumpulkan masyarakat untuk melihat lembu yang dihias sedemikian rupa sehingga tampil bagai pengantin itu kemudian diikat di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu yang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang dan berkumpul di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini praktis dan strategis untuk menarik minat masyarakat yang masih banyak menganut agama Hindu. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang keramat Hindu.
Terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang keras dan gigih menentang dakwah Islamiyah, para wali menerapkan metode al-mujadalah billati hiya ahsan (berbantah-bantah dengan jalan yang sebaik-baiknya). Mereka diperlakukan secara personal, dan dihubungi secara istimewa, langsung, bertemu pribadi sambil diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan (tadzkir) tentang Islam. Cara ini dilakukan oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel ketika berdakwah kepada Adipati Aria Damar dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijaksanaan Raden Rahmat, Aria Damar masuk Islam bersama istri dan seluruh penduduk negeri yang dipimpinnya. Metode itu dipergunakan pula oleh Sunan Kalijaga ketika berdakwah mengajak Adipati Pandanarang di Semarang. Mulanya terjadi perdebatan seru, tetapi perdebatan itu kemudian berakhir dengan rasa tunduk Sang Adipati untuk masuk Islam. Kejadian mengharukan ketika Adipati rela melepaskan jabatan dan rela meninggalkan harta dan keluarga untuk bergabung dalam dakwah Sunan Kalijaga.
Beberapa wali bahkan telah membuktikan diri sebagai kepala daerah seperti misalnya Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kudus yang berkuasa di daerah-daerah di sekitar kediaman mereka. Kekuatan diplomasi dan kemampuan dalam berhujjah atas kekuatan pemerintahan Majapahit yang sedang berkuasa ditunjukkan oleh Sunan Ampel, Sunan Gresik dan Sunan Majagung. Alhasil, Prabu Brawijaya I (Raja yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu) memberi izin kepada mereka untuk memilih daerah-daerah yang disukai sebagai tempat tinggal. Di kawasan baru tersebut mereka diberi kebebasan mengembangkan agama, menjadi imam dan bahkan kepala daerah masyarakat setempat.
Dari penjalasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, metode yang digunakan oleh Walisongo dalam berdakwah ada tiga macam, yaitu:
Metode-metode tersebut sejalan dengan Firman Allah SWT :“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl : 125).
Dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Walisongo adalah perintis awal dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dipelopori Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Walisongo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid-murid untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh Nusantara sejak abad ke-15. Walisongo terdiri dari sembilan wali; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga.
Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau Waliya yang berarti qaraba yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian. Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai dengan pengertian kerabat, teman atau pelindung. Al-Qur’an menjelaskan: “Allah pelindung (waliyu) orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung (auliya) mereka ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Baqarah: 257).
Selanjutnya kata songo menunjukkan angka hitungan Jawa yang berarti sembilan, angka bilangan magis Jawa yang diambil dari kata Ja yang memiliki nilai tiga dan wa yang bernilai enam. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kata songo berasal dari kata sana yang diambil dari bahasa Arab, tsana (mulia) sepadan dengan mahmud (terpuji). Pendapat ini didukung oleh sebuah kitab yang meriwayatkan kehidupan dan hal ihwal para wali di jawa yang dikarang oleh Sunan Giri II.
Meskipun tidak membawa bendera tertentu kecuali Islam dan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah, metode dakwah yang digunakan Walisongo adalah penerapan metode yang dikembangkan para sufi Sunni dalam menanamkan ajaran Islam melalui keteladanan yang baik. Aliran teologinya menggunakan teologi Asy’ariyah, sedangkan aliran sufistiknya mengarah pada Al-Ghazali. Jejak yang ditinggalkan Walisongo itu terlihat dalam kumpulan nasihat agama yang termuat dalam tulisan-tulisan para murid dalam bahasa Jawa yang dikenal dengan primbon, yang menggambarkan hakikat aliran tasawuf yang mereka anut dan kembangkan. Hal ini juga didasarkan pada manuskrip yang ditemukan Drewes yang diperkirakan ditulis pada masa transisi dari Hinduisme kepada Islam, yakni pada masa Walisongo hidup. Dalam manuskrip yang menguraikan tasawuf itu terdapat beberapa paragraf cuplikan dari kitab al-Bidayah wa al-Nahayah karya al-Ghazali.
Kendati demikian, metode dakwah yang dilakukan para wali berbeda-beda. Metode yang dilakukan Sunan Kudus tampak unik dengan mengumpulkan masyarakat untuk melihat lembu yang dihias sedemikian rupa sehingga tampil bagai pengantin itu kemudian diikat di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu yang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang dan berkumpul di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini praktis dan strategis untuk menarik minat masyarakat yang masih banyak menganut agama Hindu. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang keramat Hindu.
Terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang keras dan gigih menentang dakwah Islamiyah, para wali menerapkan metode al-mujadalah billati hiya ahsan (berbantah-bantah dengan jalan yang sebaik-baiknya). Mereka diperlakukan secara personal, dan dihubungi secara istimewa, langsung, bertemu pribadi sambil diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan (tadzkir) tentang Islam. Cara ini dilakukan oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel ketika berdakwah kepada Adipati Aria Damar dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijaksanaan Raden Rahmat, Aria Damar masuk Islam bersama istri dan seluruh penduduk negeri yang dipimpinnya. Metode itu dipergunakan pula oleh Sunan Kalijaga ketika berdakwah mengajak Adipati Pandanarang di Semarang. Mulanya terjadi perdebatan seru, tetapi perdebatan itu kemudian berakhir dengan rasa tunduk Sang Adipati untuk masuk Islam. Kejadian mengharukan ketika Adipati rela melepaskan jabatan dan rela meninggalkan harta dan keluarga untuk bergabung dalam dakwah Sunan Kalijaga.
Beberapa wali bahkan telah membuktikan diri sebagai kepala daerah seperti misalnya Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kudus yang berkuasa di daerah-daerah di sekitar kediaman mereka. Kekuatan diplomasi dan kemampuan dalam berhujjah atas kekuatan pemerintahan Majapahit yang sedang berkuasa ditunjukkan oleh Sunan Ampel, Sunan Gresik dan Sunan Majagung. Alhasil, Prabu Brawijaya I (Raja yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu) memberi izin kepada mereka untuk memilih daerah-daerah yang disukai sebagai tempat tinggal. Di kawasan baru tersebut mereka diberi kebebasan mengembangkan agama, menjadi imam dan bahkan kepala daerah masyarakat setempat.
Dari penjalasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, metode yang digunakan oleh Walisongo dalam berdakwah ada tiga macam, yaitu:
- Al-Hikmah (kebijaksanaan) : Al-Hikmah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u (objek dakwah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Gudus.
- Al-Mau’izha Al-Hasanah (nasihat yang baik) : memberi nasihat dengan kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluh hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman. Inilah yang dilakukan oleh para wali.
- Al-Mujadalah Billati Hiya Ahsan (berbantah-bantah dengan jalan sebaik-baiknya) : tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut. sebagaimana dakwah Sunan Ampel kepada Adipati Aria Damar dan Sunan Kalijaga kepada Adipati Pandanarang.
Metode-metode tersebut sejalan dengan Firman Allah SWT :“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl : 125).
Comments
Post a Comment