Perjalanan Abah Yai

Lahir dan tumbuh di desa Benda, Abah mengisahkan hikayatnya saat menuntut ilmu. Ketika usia sekolah dasar, Abah menempuh pendidikan dasarnya di kota Bumiayu. Langkanya kendaraan di masa itu, memaksa Abah berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Walau begitu, semangat belajar Abah tak pernah kendur. Sebagai bekal sekolahnya, Abah membawa sebutir telur. Nantinya, telur itu akan dijual di tengah jalan, dan uang hasil penjualan itulah yang menjadi uang saku Abah.

Setamat sekolah dasar, Abah muda meneruskan pendidikannya di beberapa Pesantren tanah air. Tercatat, beliau pernah belajar di Rembang (1959-1961) pada beberapa guru seperti Syaikhuna Bisri Musthofa dan Syekh Masduki Lasem, kemudian nyantri di Tambak Beras hingga tahun 1966. Di Tambak Besar, Abah antara lain belajar pada Syekh Fatah Hasyim.


Dari Tambak Beras, keinginan Abah untuk belajar sebenarnya masih amat menggebu. Tapi apa daya, kondisi saat itu tak mengijinkan, selepas wafatnya KH. Kholil bin Mahalli, desa Benda kala itu membutuhkan kader penerus perjuangan. Akhirnya, di usia yang masih terbilang belia yakni dua puluh dua tahun, Abah muda pulang dari Pesantren.

Tiba di Benda, hati Abah langsung ditambatkan pada perjuangan. Abah langsung aktif di berbagai majelis ilmu. Hampir seharian Abah menghabiskan waktunya untuk mengajar santri dan masyarakat. Tak jarang Abah baru kembali ke rumah ketika sore menjelang, padahal shubuh-shubuh benar beliau sudah berangkat ke Pesantren yang lokasinya berada di sekitar masjid Jami’ Benda ( kini dikenal komplek Jami’). Ketika itu Abah memang belum menyelenggarakan majelis pengajian di rumahnya sendiri.

Ada satu kebiasaan yang dilakukan Abah setiap pagi, yakni membangunkan para santri. Sebelum sampai di tempat ngaji, Abah menyempatkan diri untuk mampir di PTQ untuk membangunkan santri. Pun ketika sampai di asrama santri di Masjid Jami’, Abah lagi-lagi memerika kamar santri. Kebiasaan itu rutin dilakukan Abah setiap hari.

Ketika itu, ada satu maqalah terkenal Abah yang diceritkan oleh Almarhum KH. Abdul Qadir Alhafidz pada kami, Al ‘ilmu yazidu bil infaq wayanqusu bil imsak. Ilmu itu akan bertambah manakala di infaq (diajarkan), tapi justru akan berkurang manakala hanya diimsak (dikekang). Berpijak pada prinsip ini, Abah tak ragu untuk berjuang, dan mengajar mata pelajaran apapun.

Seiring berjalannya waktu, jumlah santri di Pesantren Al Hikmah pun terus bertambah. Yang datang pun tak melulu santri putra, tak sedikit santri putri yang berniat mondok di Al Hikmah. Padahal, Al Hikmah saat itu baru memiliki asrama untuk santri putra.

Melihat kondisi ini, Abah pun bertekad untuk membangun asrama guna menampung santri putri. Mulanya Abah berniat mendirikan asrama putri di sekitar komplek masjid Jami’, berdampingan dengan asrama santri yang telah ada. Tapi atas saran dari para guru, beliau akhirnya mendirikan bangunan asrama putri itu di tanah milik orang tuanya sendiri. Dikemudian hari, jumlah santri putri yang datang terus bertambah-tambah. Kelak, asrama putri inilah yang menjadi cikal bakal Pesantren yang dikenal dengan nama Al Hikmah 2.

Mengajar Seluruh Santri

Selain pembawaan yang dikenal luwes, Abah dimata tiap santrinya adalah sosok yang demikian hangat dan dekat. Tiap santri di Pesantren Al Hikmah serasa memiliki kedekatan dengan Abah.

Dalam hal pengajian, Abah memang tak pernah membatasi dirinya. Semua santri, putra ataupun putri, apa saja tingkat pendidikannya mendapat perhatian langsung dari Abah. Semuanya memiliki jam untuk bertatap dan memperoleh bimbingan langsung dari beliau. Dimulai dari mengajar tafsir Jalalain di pagi hari, jadwal pengajian Abah baru akan benar-benar selesai sekitar pukul 23.00 WIB sehabis membacakan kita Ihya’ Ulumiddin.

Menurut Abah, seorang Kiai tak boleh hanya berpangku tangan layaknya seorang direktur dalam sebuah perusahaan. Kiai harus turun langsung untuk mendidik tiap santrinya.

Comments